MURATARA-Suararkyatnews.com,

Perusahaan perkebunan sebagaimana amanat Undang-undang Perkebunan nomor 39 Tahun 2014 semestinya diselenggarakan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal dan, kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat khusus yang berada sekitar perkebunan.
Namun kenyataan yang dirasakan oleh sebagian besar Masyarakat Adat Desa Remban Kecamatan Rawas Ulu Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) meradang, pasalnya Tanah Ulayat milik mereka seluas kurang lebih 8000 Hektar telah digarap Perusahaan perkebunan sawit PT AMR yang saat ini telah mencapai 50 persen tidak melibatkan Masyarakat Adat yang tergabung di Koperasi Agro Nusa Lestari yang memiliki kuasa atas tanah Ulayat tersebut.
Kekecewaan mereka memuncak saat menghadiri pertemuan di Kantor Camat Rawas Ulu pada Kamis (1/1/2018) karena pihak PT AMR hanya mengutus seorang staf bersama seorang Security PT AMR menemui masyarakat Adat Desa Remban.
“Jadi pertemuan kita hari ini hanya simbolis saja tanpa ada keputusan, kalau memang pihak PT AMR serius kenapa bukan pemilik perusahaan sendiri yang datang menemui Masyarakat” terang Umar Bahori, ST wakil Ketua Koperasi Agro Nusa Lestari Desa Remban.
Bahori sapaan akrab Umar Bahori, ST yang juga Tokoh Pemuda Desa Remban menuding pihak PT AMR telah menabrak UU No 5 Tahun 1960 dan UU No 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan
“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengakui adanya Hak Ulayat. Tanah Adat diartikan sebagai tanah bersama para warga Masyarakat hukum adat, penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat itu dikenal dengan Hak Ulayat Berdasarkan Pasal 3 UUPA , Hak Ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dengan demikian, Tanah Ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah Hak Milik apabila Tanah Ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau Kepala Adat bersangkutan. Sebaliknya, Tanah Ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya sudah tidak ada lagi, kenyataan status tanah tersebut masih ada,” urai Bahori

Ia juga menduga ada permainan dalam penerbitan izin lokasi yang dipegang oleh PT AMR diatas Tanah Ulayat Desa Remban, sebab menurutnya bila mengacu pada UU RI No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 17 ayat (1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, ayat (2) dengan Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal apabila telah dicapai persetujuan atau kesepakatan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah.
“Jadi patut kita pertanyakan siapa yang menerbitkan izin mereka, sebab sampai saat ini belum ada kesepakatan kerjasama atau penyerahan tanah Ulayat Desa Remban ke pihak perusahaan PT AMR.” tegas Bahori (Aang)